PENDAHULUAN
Gereja merupakan satu kesatuan Tubuh Kristus. Definisi
tentang gereja yang sangat ditekankan dalam Perjanjian Baru bukan berhubungan
dengan sebuah lembaga, organisasi melainkan berhubungan dengan pribadi-pribadi
umat Tuhan yang telah dipanggil keluar dari kegelapan menuju terang Tuhan yang
ajaib. (1 Ptr.2:9; 1 Kor.3:16; 6:19-20;
12:12-20). Keesaan Gereja
mendapatkan tempat yang utama dalam hati setiap umat Tuhan. Namun sejarah
Gereja mencatat bahwa Gereja (umat Tuhan) mengalami perpechan yang terus
berkepanjangan semenjak perpecahan pertama yang terjadi pada tahun 1054 antara
Gereja Timur dan Barat.
Perpecahan Gereja pada umumnya tidak dikehendaki oleh
para tokoh Gereja, karena hal itu juga tidak sesuai dengan kehendak Allah.
Mereka tetap berusaha untuk mempersatukan Gereja dalam suatu lembaga Oikumene.
Pada abad XIX dan XX upaya pemersatuan itu semakin menyala-nyala. Namun
demikian, dalam perkembangan selanjutnya kegerakan oikumene khususnya di Indonesia
mengalami sedikit kegoncangan. Persekutuan Gereja-gereja Indonesia
mgnalami perpecahan dengan terbentuknya Persekutuan Gereja-gereja Pantekosta Indonesia dan
Persekutuan Gereja-gereja Injili Indonesia, dll.
Apabila kita kembali kepada esensi Gereja, maka keesaan
Gereja merupakan suatu pengharapan yang seharusnya terjadi. Tetapi apakah hal
tersebut akan benar-benar terjadi? Bagaimanakah pelaksanaan keesaan Gereja saat
ini? Hal ini menjadi pertanyaan yang masih dicari jawabannya.
BAB II
DESKRIPSI KEESAAN GEREJA
A.
Pengertian Keesaan
Kata keesaan berasal dari kata esa
yang berarti “tunggal;satu”[1]
sedangkan kata keesaan berarti “sifat yang satu (tidak dua)”[2]
Jadi kata keesaan berarti sifat satu, tunggal, kesatuan dan tidak dapat
dipisahkan.
B.
Pengertian Gereja
“Kata Gereja dalam bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Portugis, namun kata asal itu juga diambil dari kata Yunani
‘kuriake’ yang aslinya berarti ‘milik
Tuhan’”[3]
Sedangkan Abineno mengungkapkan bahwa Gereja adalah “umat Allah, yang dipanggil
keluar dari kegelapan kepada terangnya yang ajaib untuk memberitakan
perbuatan-perbuatanNya yang besar”[4]
Jadi Gereja merupakan suatu umat yang dipanggil keluar dari kegelapan ke dalam
terangnya Tuhan dan menjadi umat milik kesayangan Tuhan.
C.
Dasar Alkitabiah Keesaan Gereja
Keesaan Gereja merupakan sesuatu hal
yang Alkitabiah. Rasul Paulus mencatat tentang pengertian keesaan yang
diwujudkan dalam kata kesatuan (enoteV). Menurut Rasul Paulus, keesaan memiliki dua pengertian yaitu: 1.
kesatuan Roh dan 2. keseatuan kepercayaan. Kesatuan Roh merupakan suatu
tanggung jawab rohani orang-orang percaya untuk terus menerus dipelihara dalam
kehidupan berjemaat, sedangkan kesatuan kepercayaan merupakan suatu sasaran
kedepan yang akan dicapai setelah setiap jemaat memelihara kesatuan Roh.
Rasul Paulus pun mengungkapkan bahwa
Gereja sebagai satu kesatuan tubuh Kristus. Kristus merupakan kepala Gereja dan
Gereja merupakan tubuhNya. “Ajaran yang ditekankan oleh kiasan tubuh Kristus
adalah: masyarakat Kristen sebagai satu organisasi atau badan yang di dalamnya
semua mereka mempunyai peranan, bersekutu dan wajib mengindahkan serta
mampertahankan persekutuan itu”[5]
Jadi Gereja diharapkan merupakan satu kesatuan organisme yang tidak dapat
terpisah.
Keesaan Gereja juga didasari oleh
pandangan bahwa Allah Yang Esa memilih satu umat kesayangan untuk menebus
mereka dari dosa. “Jemaat adalah satu umat dan satu Allah, umat kepunyaanNya
sendiri (1 Ptr.2:9)”[6]
Oleh karena Allah itu satu maka satu pulalah umatNya atau gerejaNya.
BAB III
TERWUJUDNYA KEESAAN GEREJA DALAM PERSPEKTIF THEOLOGIS
A.
Penghalang Keesaan Gereja
Berbagai perpecahan yang terjadi dalam Gereja merupakan
penghalang terjadinya keesaan Gereja. Terjaadinya perpecahan atau schisma itu
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
- Kebenaran yang prinsipil
Gereja
bertumbuh dan berkembang dengan mendasarkan pertumbuhan itu sesuai dengan
kebenaran yang tertuang dalam Alkitab. Pandangan dan penafsiran secara
manusiawi yang dipimpin oleh Roh dapat menghasilkan suatu prinsip kehidupan
yang sangat prinsipil dan tidak dapat diganggu gugat. “Para
reformator memang mula-mula tidak mau mendirikan Gereja-gereja lain, tetapi
hanya membaharui Dereja yang ada, tetapi karena kebenaran yang mereka
pertahankan, perpecahan tidak dapat dielakkan”[7]
Kebenaran yang prinsipil pada satu
pihak tidak dapat diterima oleh pihak lainnya. Kedua belah pihak mempertahankan
kebenaran yang mereka percayai, oleh karena itu terjadilah ketidaksesuaian
dalam memahami kebenaran. Dengan demikian perpecahan atau schisma dapat terjadi
walaupun itu pada awalnya tidaklah dikehendaki.
- Polarisasi dan Pertentangan
Tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam diri kita sebagai manusia memiliki sisi manusiawi
yang negative dimana dapat memunculkan suatu polarisasi dan pertentangan.
Polarisasi ini dapat disebabkan oleh karena:
2.1.
Mementingkan diri sendiri,
mempertahankan prestise sendiri.
2.2.
Tidak menyepakati siapa yang
berwenang dalam menentukan keputusan terakhir apabila timbul suatu
perselisihan.
2.3.
Ketidakpuasan terhadap
Organisasi.
2.4.
Perbedaan bangsa, suku, bahasa,
tradisi, kelompok.
Polaarisasi dan pertentangan tidak sesuai dengan
kehendak Alah, bahkan dapat mendukakan Roh Allah (Ef. 4:30), dan juga membuat Gereja menjadi mati
(Ef.5:14)
B.
Wujud Keesaan Gereja dalam
Perspektif Theologis
Apabila kita menilik perkembangan
Gereja masa kini, sudah banyak terbentuk berbagai aliran dan denominasi Gereja.
Padahal Tuhan Yesus juga pernah menyatakan bahwa Dialah yang akan membangun
GerejaNya (Mat.16:18). Tentunya Karya Kristus bukanlah mewujudkan berbagai
aliran dalam Agama Kristen. Keberadaan Gereja masa kini adalah karena
perspektif manusia dalam memahami kehendak Allah. Oleh karena itu, untuk
mewujudkan keesaan Gereja sebagai satu kesatuan umat Tuhan, amatlah sukar bila
tidak melihat dari perspektif Theologis.
Kata Perspektif dalam Kamus Inggris-Indonesia
berarti “1.perspektiv; 2. pemandangan”[8]
Sedang kata Theologis berasal dari kata Theologia yang secara etimologis merupakan “gabungan dari
dua kata Yunani: QeoV (Theos) yang artinya Allah dan logoV
(logos) yang
artinya: perkataan, ekspresi rasional, uraian atau buah pikiran.”[9]
Jadi kata theologis adalah suatu yang bersifat keAllahan berdasar pada
pemikiran yang rasional. Jadi perspektif Theologis berarti suatu pemandangan
yang dilihat dari kerangka berfikir tentang keallahan.
Adapun Keesaan Gereja dalam
Perspektif Theologis dapat terwujud dalam:
- Kesatuan Dalam Kristus.
Berdasarkan suatu pandangan
Alkitabiah bahwea Kristuslah yang akan membangun Gerejanya, maka terwujudnya
keesaan Gereja adalah berada dalam suatu kerangka kesatuan di dalam Kristus.
“Kesatuan dalam Kristus adalah pemberian Allah. Karena itu kesatuan dalam
Kriostus didak bisa rusak atau musnah dimana dan bagaimanapun anggota-anggota
Gereja berkumpul. Sebab yang menghubungkan (= mempersatukan) Gereja-gereja di
berbagai tempat itu bukan pertama-tama organisasinya atau pmpinannya atau tata
ibadahnya, tetapi Roh yang satu, Tuhan Yang satu, Bapa yang satu, Harapan yang
satu, Iman yng satu dn Babtisan yang satu (Ef.4:3-6)[10]
Prioritaas utama untuk meweujudkan
kesatuan Gereja adalah kembali berpijak dari Kristus sebagai kepala dan pendiri
Gereja.
Tuhan Yesus memikiki konsep kesatuan Jemaat atau
gerejaNya dalam doaNya (Yoh.17:17-13). Kesatuan itu adalah suatu kesatuan yang
sama antar Bapa dengan Anak. “Kesatuan ini adalah kesatuan dalam distansi:
kesatuan yang menyatakan diriNya dalam ketaatan antara Anak kepada Bapa”[11]
Jadi karya Allah sebagai anu\gerahNya bagi keesaan Gereja memiliki beberapa
tahap:
1.1.
Firman harus diberitakan
1.2.
Allah menguduskan
1.3.
Allah memberi kemuliaan dan
kuasa untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan.
- Gerakan Oikumene
Anugerah Allah yang menyatukan harus
dibarengi dengan tindakan GerejaNya untuk menanggapi anugerah Allah ini. Satu
kesatuan Roh yang disampaikan Rasul
Paulus merupakan suatu tanggungjawab kita untuk memeliharanya., oleh karena
itu, berdasarkan pandangan bahwa Allah menghendaki persatuan umatNya, maka para
tokoh reformator berusaha menyatukan kembali Gereja-gereja yang terpecah dalam
suatu wadah Oikumene.
Oikumene berasal dari kata Yunani
yang mengandung arti “dunia yang didiami”[12]
(Luk.2:1;Kis.17:6;Mat.24:14) Gerakan
Oikumene dikerjakan sebagai salah satu wujud yang Alkitabiah menuju keesaan
Gereja. Gerakan Oikumene ialah gerakan yang bukan saja berusaha untuk
menghubungkan (=mempersatukan) kembali gereja-gereja Tuhan yang terpecah-pecah
pada waktu itu, tetapi yang juga membantu Gereja-gereja yang terpecah-pecah itu
untuk menampakkan kesatuan mereka dalam hidup dan pelayanan mereka agar
kesaksian mereka dapat dipercaya orang.”[13]
Jadi Okumene menjadi salah satu wadah untuk menyatukan Gereja-gereja.
Meskipun pada kenyataannya terjadi
perpecahan dalam tubuh oikumene, gerakan oikumene tetap relevan bagi perwujudan
keesaan Gereja, dengan memperhatikan apa yang menjadi factor penghambat nya.
Oleh karena itu dalam Lima Dokumen Keesaan Gereja dibuat suatu kesepakatan
bersama untuk mewujudkan kesatuan Gereja. Beberapa pendekatan yang digunakan
untuk maksud persatuan itu, antara lain:
2.1.
Identitas masing-masing Gereja tetap dihormati
2.2.
Sejarah masing-masing Gereja tetap dihormati
2.3.
Tugas panggilan masing-masing Gereja tetap dihormati
2.4. Kewenangan untuk mengatur
kehidupan masing-masing Gereja tetap dihormati.
2.5. Pengembangan theologi, daya dan
dana dalam rangka tugas panggilan masing-masing gereja tetap dihormati.
BAB IV
PENUTUP
- Kesimpulan
Keesaan Gereja merupakan suatu
pengharapan yang dapat saja terjadi. Tuhan Yesus pun berdoa untuk terciptanya
suatu kesatuan umatNya. Keesaan GerejaNya terwujud dalam beberapa hal:
1.
Kesatuan dapat terjadi di dalam
Kristus, yaitu ketika orang-orang percaya hidup dalam ketaatan dengan Allah
melalui pelaksanaan Firman Tuhan, dan juga melalui kehidupan yang meneladani
Kristus
2.
Keesaan Gereja harus diwujudkan
secara bersama oleh umat Tuhan, yang bersatu bukan atas dasar keseragaman dalam
lembaga, organisasi, ataupun liturgy, melainkan dalam kesatuan pelayanan untuk
mempermuliakan nama Tuhan, menjangkau jiwa bagi kemuliaanNya
- Saran-saran
Kesatuan Gereja harus diwujudkan
dengan kerjasama yang baik antara berbagai pihak dalam tubuh Kristus. Walaupun
banyak perbedaan di dalamnya, biarlah perbedaan itu menjadi suatu hal yang
mempersatukan. Demikian pula para pemimpin Gereja harus memiliki kerinduan yang
sama untuk bersatu dalam Kristus, yakni penyerahan total akan kehendak Allah
dalam hidup dan pelayanannya.
Kepustakaan
Martin B. Dainton, Gereja Milik Siapa?,
Jakarta:YKBVK/OMF,1994.
John Echols dan Hassan Shadly, Kamus
Inggris-Indonesia, Jakarta:PT.
Gramedia,2000
Johanes Budi Supeno, Diktat Pembimbing
Theologia Sistematika, Salatiga:STT Salatiga, 2006,
J.L. Ch. Abineno, Oikumene dan Gerakan Oikumene, Jakarta:BPK Gunung
Mulia,1984.
J.L. Ch. Abineno, Garis-garis Besar
Hukum Gereja, Jakarta:BPK
Gunung Mulia,1995.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia,
Jakarta:Balai
Pustaka,2002.
Lima Dokumen Keesaan Gereja
[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai
Pustaka,2002,hlm.278
[2] Ibid,
[3] Martin B. Dainton, Gereja Milik Siapa?, Jakarta:YKBVK/OMF,1994,hlm. 10.
[4] J.L. Ch. Abineno, Garis-garis Besar Hukum Gereja, Jakarta:BPK Gunung
Mulia,1995.hlm.2.
[5] Martin B. Dainton, Op.cit., hlm.71.
[6] Ibid., hlm.73.
[7] J.L. Ch. Abineno, Oikumene dan Gerakan Oikumene, Jakarta:BPK Gunung
Mulia,1984,hlm.11.
[8] John Echols dan Hassan Shadly, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta:PT.
Gramedia,2000,hlm.426.
[9] Johanes Budi Supeno, Diktat Pembimbing Theologia Sistematika,
Salatiga:STT Salatiga, 2006, hlm 1.
[10] J.L. Ch. Abineno,Op.cit., hlm.13.
[11] Ibid, hlm 17.
[13] Ibid.,hlm.10.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar